Selasa, 29 November 2011

MEREVISI PEMBELAJARAN



Sebagai salah satu proses dalam pembelajaran, maka seorang guru atau pendidik sejatinya melakukan revisi pembelajaran, kegiatan ini penting dilakukan untuk melihat kembali efektifitas dari berbagai langkah yang telah dilakukan oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar. tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperbaiki apa-apa yang tidak baik atau kurang signifikan keberadaannya dalam proses pembelajaran.
Revisi ini akan tidak efektif manakala salah satu tahapan dalam proses pembelajaran tidak dilalui. Ini merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan satu dengan lainnya.
Secara sederhana dapat pula dikatakan kegiatan revisi pembelajaran ini seperti daur ulang. Atau pula sebagai data dari penilaian formatif untuk mengkaji kembali kesahihan analisa pengajaran yang dilakukan oleh seseorang guru.

Bacaan :
Achmad  Noor  Fatirul, Power Point Pengembangan Sistim Pembelajaran.

Melakukan Penilaian Sumatif


Istilah Penilaian sumatif yang sering kita dengar selama ini bermakna jenis penilaian yang berfungsi untuk menentukan angka kemajuan/hasil belajar siswa. Penilaian sumatifdilakukan untuk menilai hasil belajar siswa jangka panjang dari suatu proses belajar mengajar pada akhir Program pengajaran.

Biasanya Penilaian sumatif dilakukan pada akhir program pengajaran,artinya bahan pengajaran yang menjadisasaran evaluasi cukup luas dan banyak. Oleh karena itu penyusunan soal-soalnya harus didasarkan atas tujuan-tuajun pembelajaran umum atau standar kompetensi dan Kompetensi dasar dan harus representatif.
Penilaian sumatif bertujuan untuk menentukan angka kemajuan belajar siswa, oleh karenanya penilaian sumatif sangat memperhatikan Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda.

Dalam penilaian sumatif digunakan dua pendekatan, yaitu :

     1. Pengolahan hasil penilaian sumatif berdasarkan ukuran mutlak (PAP)
Pada dasarnya pengolahan ini membandingkan hasil belajar siswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Patokan yang sudah disepakati sebelumnya biasa disebut Tingkat Penguasaan Minimum atau KKM (kriteria Ketuntasan Minimun)
Jika pengolahan hasil berdasarkan ukuran/kritwria mutlak, maka yang harus dicapai ialah persentase jawaban yang benar yang dicapai oleh setiap siswa. Kemudian angka persentase tersebut diubah ke dalam skala evaluasi yang dikehendaki, umpamanya skala penilaian 1-10.

.  2. Pengolahan hasil penilaian berdasarkan norma relatif (PAN)
           PAN yaitu penilaian yang membandingkan hasil belajar siswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan yang digunakan “apa adanya”dalam arti bahwa patokan pembanding semata-mata diambil dari kenyataan-kenyataan yang diperoleh pada saat penilaian itu berlangsung.
          Untuk mengolah hasil penilaian yang berdasarkan norma relatif, digunakan nilai-nilai yang standar seperti nilai 0-10 (c-score), skla nilai 0-100 (T-score), dll

Pada penilaian sumatif, hasil penilaian biasanya digunakan untuk:
a.       Menentukan kenaikan kelas
b.      Menentukan angka raport
c.       Mengadakan seleksi
d.      Menentukan lulus tidaknya siswa
e.       Mengetahui status setiap siswa dibandingkan dengan siswa lainnya dalam kelompok yang sama.
Demikian, mengungat urgensi melakukan sumatif sangat urgen maka sejatinya setiap pendidik melakukannya dengan sepenuh hati dan secara konsekwen.

     


MENGIDENTIFIKASI PERILAKU DAN KARATERISTIK AWAL SISWA


Aspek-aspek analisis pada kegiatan indentifikasi perilaku dan karakterisitk awal siswa. Dalam hal ini ada empat aspek kepribadian sipelajar yang tergolong pada kegiatan indentifikasi perilaku dan karakteristik awal , yaitu :
a. Kemampuan Dasar.
b. Latar belakang pengalaman.
c. Latar belakang sosial.
d. Perbedaan individual.

          Untuk teknik identifikasi perilaku awal siswa.dengan menggunakan kuesioner, interviuw, observasi dan tes. Sabjek yang memberikan insformasi diminta untuk mengidentifikasi tingkat pengusaan siswa dalam setiap perilaku khusus melalui skala penilaian.
        Di samping mengidentifikasi perilaku awal mahasiswa, pengembang instruksional harus pula mengidentifikasi karakteristik siswa yang berhubungan dengan keperluan pengembangan instruksional. Tekhnik yang digunakan dalam mengidentifikasi karateristik awal siswa adalah sama dengan tekhnik yang digunkan dalam mengidentifikasi awal siswa, yaitu ; kuesioner, interviu, observasi dan tes.
          Tujuan mengetahui karakteristik siswa adalah untuk mengukur, apakah siswa akan mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak; sampai di mana minat siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari. Bila siswa mampu, hal-hal apa yang memperkuat; dan bila tidak mampu hal-hal apa yang menjadi penghambat.
Hal-hal yang perlu diketahui tersebut adalah:
1.      Faktor-faktor akademis
2.      Faktor-faktor sosial
3.      Kondisi belajar.
         Sistem pembelajaran merupakan proses yang berlangsung secara berkesinambungan dari awal hingga berakhirnya proses pembelajaran.  Untuk itu sebelum memulai pembelajaran guru perlu terlebih dahulu menyusun desain pembelajaran yang tepat sesuai dengan minat, motivasi, dan kebiasaan siswa.
          Salah satu faktor yang cukup penting adalah minat belajar peserta didik, karena minat adalah sebagai penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan. Minat merupakan kekuatan yang mendorong individu dalam memberi perhatian terhadap suatu kegiatan tertentu.
            Fungsi dari minat belajar dalam pendidikan adalah sebagai motor penggerak untuk melakukan perbuatan, sebagai penentu arah perbuatan dan melakukan apa yang harus dilakukan sehingga serasi dengan target yang hendak dituju.
           Motivasi yang terdapat pada individu akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi “keinginan” atau kebutuhannya. Motivasi pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi suatu keinginan atau kebutuhannya. Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Kuatnya motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya
            Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa adalah :
  1. Yakinkan siswa bahwa apa yang dipelajarinya bermanfaat bagi dirinya
  2. Yakinkan siswa bahwa ia akan mampu menguasai pelajaran yang dilakukan
  3. Upayakan situasi belajar yang menyenangkan
  4. Berikan Keteladanan
  5. Sertakan peserta didik dalam merancang dan menyusun target pembelajaran
  6. Gunakan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif
  7. Sampaikan tujuan pembelajaran sebelum pembelajaran dimulai
  8. Yakinkan bahwa motivasi sangat menentukan keberhasilan belajar peserta didik.
  9. Beri kesempatan kepada peserta didik untuk dapat berinteraksi dan saling kerja sama
  10. Upayakan tersedianya sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang kondusif
           

MENGEMBANGKAN BUTIR TES ACUAN PATOKAN


Tes acuan patokan adalah salah satu dari model pengembangan desain instruksional Dick and Carey. Penilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda. Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan instruksional .
Tes acuan patokan (penilaian) berfungsi untuk mengukur kemampuan pebelajar seperti yang diperkirakan tujuan. Perkembangan tes dibuat pada proses desain pengajaran setelah pelajaran dikembangkan. Alasan utamanya adalah bahwa item tersebut harus berkaitan dengan tujuan prestasi. Prestasi yang diperlukan dalam tujuan tersebut harus sesuai dengan prestasi yang diperlukan dalam item tes atau tugas prestasi. Sifat dari item tersebut akan diberikan kepada pebelajar dan berfungsi sebagai kunci terhadap pengembangan strategi pengajaran
Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.
PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning).
Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa ketentuan sebagai berikut:
  1. Penilaian acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus
  2. pengukuran PAP memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siswa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
  3. Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tentang siswa, pengukuran memerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.
  4. Penilaian acuan patokan mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
  5. Penilaian acuan patokan menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau keterampilan.
  6.  Penilaian acuan patokan dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
  7.  Penilaian acuan patokan digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.
  8. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
  9. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
  10. Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.
  11. Penilaian acuan patokan digunakan terutama untuk penguasaan.
           Bagi seorang perancang pembelajaran harus mengembangkan butir tes acuan patokan, karena hasil tes pengukuran tersebut berguna untuk:
1.        Mendiagnosis dan menempatkan dalam kurikulum.
2.        Men-checking hasil belajar dan kesalahan pengertian sehingga dapat diberikan    pembelajaran remedial sebelum pembelajaran dilanjutkan.
3.        Menjadi dokumen kemajuan belajar.
Dalam mengembangkan butir-butir tes acuan patokan, Dick and Carrey (1985) merekomendasikan empat macam tes acuan patokan, yaitu:
  1. Entry behavior test. Tes ini diberikan kepada pebelajar sebelum memulai pembelajaran. Tes ini berguna untuk mengukur keterampilan syarat atau keterampilan yang harus sudah dikuasai sebelum pembelajaran dimulai. Keterampilan syarat akan muncul di bawah garis entry behavior.
  2. Pre-test. Tes ini dilakukan pada awal pembelajaran untuk mengetahui apakah pebelajar sudah menguasai beberapa atau semua keterampilan yang akan diajarkan. Biasanya pretest dan entry behavior test dijadikan satu. Hasil dari tes entry behavior dapat digunakan desainer untuk mengetahui apakah pebelajar siap memulai pembelajaran, sedangkan dari hasil pretest, desainer dapat memutuskan apakah pembelajaran akan menjadi terlalu mudah untuk pebelajar.
  3. Practice test. Tes ini diberikan selama siswa sedang dalam proses belajar. Tes ini berfungsi untuk melihat apakah siswa memang telah dapat menangkap apa yang sedang dibicarakan dan juga untuk membuat pebelajar lebih aktif berpartisipasi selama pembelajaran. Tes ini berisi keterampilan yang lebih sedikit dan lebih fokus pada materi per pertemuan daripada per unit. Hasil tes ini digunakan instruktur untuk memberikan feedback dan untuk memonitor pembelajaran.
  4. Post-test. Tes ini paralel dengan pre-test. Sama dengan pre-test, post-test mengukur tujuan pembelajaran. Tujuan yang terutama dari tes ini adalah agar desainer dapat mengidentifikasi area pembelajaran yang tidak bisa dilakukan dengan baik. Jika pebelajar gagal dalam tes, desainer harus dapat mengidentifikasi dalam proses pembelajaran yang mana tidak dimengerti oleh siswa. Tes ini merupakan tes acuan patokan yang mencakup pengukuran semua tujuan intruksional khusus yang ada terutama tujuan intruksional yang bersifat terminal.
Dalam Mendesain Tes, pertimbangan pertama adalah menyesuaikan bidang pelajaran dengan item atau tipe tugas penilaian. Objektif untuk intelektual skill lebih kompleks dan biasanya menggunakan model objektif, kreasi produk atau pertunjukan langsung. Penilaian untuk ranah afektif juga kompleks. Biasanya tidak ada cara langsung untuk mengukur tingkah laku seseorang. Penilaian di ranah ini biasanya dilakukan dengan observasi. Penilaian ranah psikomotor biasanya dilakukan dengan mendemonstrasikan tugas
Metode untuk menentukan level penguasaan menggunakan acuan norma. Pendekatan yang kedua, bisa digunakan cara statistik.
kemudian dalam menulis Item Tes. Ada beberapa kriteria tes yang berkualitas, yaitu:
Kriteria berpusat pada siswa (learner centered creteria). Soal tes dan tugas harus sama dengan tujuan indikator, harus cocok dengan sikap, termasuk konsep dan aksi. Sebagai contoh, siswa harus dapat menjodohkan deskripsi dari konsep dengan tabel yang telah ditentukan.
Kriteria berpusat pada kontek (context centered criteria). Soal tes dan tugas harus dapat disesuaikan dengan karaktesistik dan kebutuhan siswa. Kriteria dalam area ini adalah mempertimbangkan seperti tingkat perbendaharaan kata dan bahasa siswa, tingkat motivasi dan minat, pengalaman dan latar belakang, dan kebutuhan khusus. Diharapkan dengan adanya tingkatan tersebut siswa dapat menjawab pertanyaan dengan tepat. Pertimbangan lain yang diperhatikan adalah pengalamandan latar belakang siswa.
Kriteria berpusat pada penilaian (assessment centered criteria). Penilaian yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dapat dijadikan informasi mengenai kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Guru harus meluangkan lebih banyak waktu untuk mengkonstruk suatu simulasi soal yang baik. Yang tujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan siswa mulai dari yang mudah ke tingkatan yang lebih sulit.
Untuk Setting Penguasaan Kriteria. Jika tes item memerlukan sebuah format respon yang memungkinkan siswa dapat menebak jawaban dengan benar anda dapat memasukkan beberapa tes item paralel untuk tujuan yang sama jika kemungkinan menebak jawaban yang benar kecil kemungkinan, anda dapat memutuskan satu atau dua item untuk menentukan kemampuan siswa
Jenis-jenis Item, pertanyaan penting adalah jenis tes item atau penilaian tugas apa yang paling baik dalam menilai kinerja siswa? Perilaku tertentu dalam objektif memberikan point-point penting terhadap jenis item atau tugas yang dapat digunakan untuk menguji perilaku.
          Test harus terdapat petunjuk yang jelas, singkat. Permulaan tes biasanya menyebabkan kecemasan pada siswa yang akan dinilai. Oleh karena itu tes seharusnya mengurangi keraguan pada pikiran siswa mengenai apa yang akan mereka kerjakan dalam menyelesaikan test.
  1. Judul test seharusnya memberikan kesan kepada siswa mengenai content atau isi daripada kata-kata sederhana.
  2. Pernyataan singkat yang menerangkan objective atau performance yang diujikan
  3. Siswa diberitahu untuk menebak jawaban jika mereka tidak yakin dengan jawaban yang benar.
  4. Petunjuk khusus seharusnya diucapkan dengan benar.
  5. Siswa diberitahu agar menulis nama mereka atau identitas mereka.
  6. Siswa seharusnya diberitahu mengenai penggunaan perlengkapan khusus dalam menyelesaikan
          

Model Desain Instruksional



 Model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewu­judkan suatu proses, seperti penilaian suatu kebutuhan, pemilihan media, dan evaluasi. Sedangkan Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional systems development) dan disain instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara "disain" dan "pengembangan". Kata "disain" berarti "membuat sketsa atau pola atau outline atau ren­cana pendahuluan". Sedang "mengembangkan" berarti "membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan sebagainya."
Model sistem instruksional adalah metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yang sering dipakai oleh banyak tenaga pengajar, model instruksional menitikberatkan pembuatan keputusan intelektual oleh guru sebelum dan sesudah pengajaran.
1.      Menentukan tujuan-tujuan instruksional secara spesifik dalam bentuk perilaku siswa.
2.      Mengadakan penilaian pendahuluan terhadap keadaan siswa pada saat ini dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan instruksional tersebut.
3.      Menilai pencapaian tujuan-tujuan tersebut oleh siswa.

 Model instruksional terdiri atas empat komponen yang secara hakiki berbeda satu sama lainnya :
a.       Penentuan tujuan-tujuan yang spesifik
b.      Penilaian pendahuluan (prosedur penilaian yang lebih banyak dari pada hanya tes ter tulis)
c.       Pengajaran
d.       Penilaian
Beberapa model pengembangan instruksional, antara lain:

  1. Model PPSI
PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksionalyang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Model pengembangan intruksional PPSI ini memiliki 5 langkah pokok yaitu:
1.      Perumusan tujuan pembelajaran
2.      Pengembangan alat evaluasi
3.      Menentukan kegiatan Belajar-Mengajar
4.      Merencanakan Program KBM
5.      Pelaksanaan

  1. Model Bela H. Banathy
Pengembangan Instruksional model Banathy melalui enam langkah sebagai berikut:
1.         Merumuskan tujuan (Formulate objectives)
2.         Mengembangkan test (develop test)
3.         Menganalisis kegiatan belajar (analyze learning task)
4.         Mendesain struktur instruksional (design system)
5.         Melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (Implement and test output)
6.         Mengadakan perbaikan (change to improve)

  1. Model Kemp
Pengembangan instruksional yang dikembangkan oleh Kemp (1977), terdiri dari 10 langkah.
1.      Penentuan tujuan instruksional umum (TIU)
2.      Menganalisis karakteristik siswa
3.      Menentukan tujuan instruksional khusus (TIK)
4.      Menentukan materi pelajaran
5.      Mengadakan penjajakan awal (preassesment)
6.      Menentukan strategi belajar dan mengajar yang relevan
7.      Mengkoordinasi sarana penunjang yang dibutuhkan
8.      Mengadakan evaluasi



Selasa, 22 November 2011

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PERSPEKTIF TALCOTT PARSONS

A.   PENDAHULUAN
Kajian seorang sosiolog dalam melihat sesuatu, senantiasa berangkat dari bawah, berdasarkan fakta-fakta dimasyarakat dengan pendekatan emik, selalu berdasark sosial affect (fakta dilapangan). Dengan demikian ketika akan melihat bagaimana pendidikan berdasarkan pendekatan sosiologis, maka tanyalah bagaimana pendidikan kepada masyarakat dengan menggunakan metode observasi, karena tidak mungkin dapat mengetahui social affact tanpa melakukan observasi. Talcott Parsons, sebagai seorang sosiolog yang termasuk tokoh utama aliran fungsionalisme struktural modern,[1] beliau telah berjasa dalam memotret kondisi masyarakat dengan teori sistem sosial, adaptasi sosial dan tindakan sosial. Teori sosiologi tersebut dapat digunakan untuk memotret realitas sosial, dengan memahami secara obyektif atas kondisi masyarakat, kajian ini diharapkan mampu mencari solusi yang tepat dalam mengembangkan serta menjawab berbagai permasalahan dalam pendidikan agama Islam saat ini. Dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana paradigma sosiologi dalam pandangan Talcott Parsons serta bagaimana konsep pengembangan pendidikan agama Islam berdasarkan teori-teori yang dikembangkan Talcott Parsons.

B.   BIOGRAFI TALCOTT PARSONS
Talcott Parsons lahir disebuah kota kecil di Amerika serikat bagian tengah, yaitu di Colorado Springs pada tanggal 13 Desember 1902 dan meninggal pada tanggal 8 Mei 1979.[2] Ayah Parsons adalah seorang pendeta dan  profesor pada sekolah teologi, kehidupan Parsons banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang religius protestanisme asketik. Sebenarnya karir keilmuan Parsons tidak diawali oleh bidang keilmuan yang berhubungan langsung dengan sosiologi, pada tahun 1920 ia masuk ke Amherst College dengan cita-cita ingin menjadi ahli dalam ilmu kedokteran dan biologi, kemudian la melanjutkan di London School of Economics, Disinilah ia banyak menimba ilmu dari Malinowski dan AR Radicliffe-Brown tentang antropologi, yang akhirnya menimbulkan beragam keingintahuan Parsons atas pendekatan-pendekatan fungsionalisme. Pada tahap berikutnya la tertarik dan mengubah pandangan sosiologinya pada ilmuwan sosial Jerman dengan mengambil program doktor di Universitas Heidelberg dan hidup menikmati iklim akademik di bawah kendali tardisi Max Weber.[3]
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner menulis buku berjudul "The Coming Crisis of Western Sociology" mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan "Academic Sosiology" dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat pada tahun 1930, bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S. Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori "Social System". Ini sebabnya teori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan menggusur teori-teori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah.[4] Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, teori Sosiologi di negara berkembangpun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas "nation .state". Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing. Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena ``nation state" belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
Parsons tergolong salah seorang pelopor lahirnya sosiologi modern kontemporer, dengan teori tindakan dan teori sistemnya yang populer dalam karya-karya tulisnya berjudul "The Social System ", "The Social Action ".[5]

C.   TEORI SOSIOLOGI TALCOTT PARSONS
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.[6]
Menurut James M Henslin, paradigma yang dilakukan Parsons merupakan pergeseran dari reformasi sosial menuju teori sosial, dengan mengembangkan model-model yang menitik beratkan bagaimana masyarakat dapat bekerjasama secara harmonis, merangsang aktivisme sosial. Walaupuzi hal ini disesalkan oleh C. Wright Mills, yang kemudian menyeru para sosiolog untuk kembali kepada reformasi sosial.[7]
Menurut Peter Hamilton dalam mengkaji gagasan-gagasan    Parsons, secara umum dapat dipecah dalam 3 fase, yaitu :
1.        Fase pertama, yang berisi tahapan perkembangan tindakan social, tercermin dalam bukunya The Structure of Social Action (1937)
2.        Fase kedua, berisi konsep-konsep system dan kebutuhan-kebutuhan sistem yang sangat penting, sebagaimana tercermin dalam bukunya The Social System (1951)
3. Fase ketiga, terfokus pada upaya-upaya mendefinisikan dan menjelaskan perubahan sosial, hal ini bias dilihat dari bukunya Societies (1967), The System of Modern Societies (1971).[8]
Adapun teori yang dikembangkan Parson, secara garis besarnya meliputi :
1.         Sistem sosial, menurutnya sistem sosial terbentuk dari tindakan sosial individu, hakikatnya teori ini merupakan manifestasi dari teori fungsionalisme Parsons, sebagai kelanjutan dari Spencer, Weber dan Durkheim mewakili para sosiolog, serta Radcliffe Brown dan Malinowski mewakili antropolog. Teori ini berasal dari pemahaman konsep kebudayaan, sistem budaya yang berisi gagasan dan bersifat abstrak menurut Parson harus diwujudkan dalam bentuk sistem sosial, sebagai manifestasi dari seluruh sistem gagasan atau ide sehingga wujud kebudayaan dianggap lebih konkret dalam bentuk tindakan manusia ditengah kehidupan sosial masyarakat, dengan memenuhi empat syarat fungsional, yaitu :
a.         Harus menyesuaikan dengan lingkungan
b.         Memiliki suatu alat untuk mobilisasi sumber daya untuk mencapai tujuan
c.         Harus mempertahankan koordinasi internal
d.        Mempertahankan diri untuk memelihara keseimbangan
2.         Adaptasi sosial, dalam konsep ini sebenarnya Parson menekankan sebuah upaya dengan cara menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, hal ini diharapkan dapat mewujudkan sistem sosial dalam kebudayaan agar berfungsi sesuai dengan maknanya.
3.         Tindakan sosial, dalam teori ini menekankan orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan individu. Pilihan ini secara normatif diatur dan dikendalikan oleh nilai dan siandar normatif bersama. Inti pemikiran dalam tindakan sosial, adalah :
a.         Memiliki tujuan
b.         Terjadi dalam satu situasi
c.         Secara normatif tindakan itu diatur untuk memenuhi tujuan
Dengan demikian komponen dari tindakan sosial adalah : Tujuan, sifat, kondisi dan norma.[9] Bahasan tentang struktural fungsional Parsons diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
1.        Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2.        Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3.        Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4.        Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, mernelihara clan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Teori struktural fungsional mengansumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga keiangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain ; faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku. Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi clan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan baru. Variabel yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.

D.    PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Pendekatan sosiologi adalah salah satu perspektif atau paradigina sosiologi yang berkaitan dengan latar belakang kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan teori-teori sosiologi Parsons diatas maka pendidikan agama Islam sebagai wujud kebudayaan, menyangkut prilaku manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya sebagai sistem sosial, harus memenuhi beberapa hal, diantaranya, :
1.         Kegiatan pendidikan agama Islam harus mampu menyesuaikan dirt dengan kondisi serta situasi lingkungan pendidikan.
2.         Aktivitas pendidikan agama Islam harus memperhatikan institusi dan peralatan yang diperlukan dalam rangka mobilisasi
3.         Melakukan koordinasi dengan sub sistem-sub sistem lain yang terkait dalam rangka mendukung terselenggaranya aktifitas
4.         Mempersiapkan konsep pendidikan agama Islam yang berorientasi pada aspek kesinambungan masyarakat berdasarkan fakta sosial.
Dengan demikian maka pendidikan agama Islam dalam perspektif Parson secara sistemik harus dapat melahirkan pribadi manusia yang "kaffah ", yaitu manusia yang memiliki sistem budaya dengan kekuatan iman (kepercayaan), pengetahuan, ketaatan norma dan komitmen terhAdap nilai­nilai Islam. Sistem budayanya mampu memberikan kontrol terhadap sistem sosial dalam wujud intitusi, pergaulan dan komunikasi yang Islami. Sistem sosialnya mampu melahirkan sikap clan kepribadian yang menarik simpatik, dibarengi dengan sistem prilaku yang terpuji, karena diwujudkan dalam pergaulan sesuai dengan norrna clan nilai-nilai akhlaq al karimah. Dengan prilaku yang baik, peserta didik dalam kegiatan pendidikan agama Islam akan mendukung citra kepribadian muslim yang menjadi tujuan pendidikan agama Islam, mendukung institusi Islam sebagai lembaga terhormat dan pada akhirnya akan menjungjung tinggi sistem budaya "Al-Islamu ya'lu walaa yu'laa 'alaihi"

E.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa teori sosiologi yang digagas oleh Talcott Parsons dengan sistem sosial, adaptasi sosial dan tindakan sosial, dapat dijadikan sebagai suatu paradigma sosiologi dalam memotret pendidikan agama Islam, dengan pendekatan seperti ini diharapkan mampu menjadi suatu solusi dalam mewujudkan tujuan pendidikan agama Islam sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan sistem budaya Islam. Wallahu a'lam




























DAFTAR PUSTAKA


All, Abdullah.  Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, Cirebon ; STAIN Press Cirebon bekerjasama dengan Penerbit Cakrawala Yogyakarta, 2007

___________ Sosiologi Islam, Bogor ; IPB Press; 2005

Dwi Susilo, Rachmad K., 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biografi para Peletak Sosiologi Modern, Jogjakarta ; Ar-Ruzz Media, 2008

Henslin, James H., Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (ter)) Kumanto Sunarto, Bandung ; Erlangga, 2007

Thomson Gale, a part of the Thomson Corporation.Talcott Parsonss from Encyclopedia of World Biography. www.bookrags.com

Tjondronegoro, Sediono MP, Perlunya Reorientasi Sosiologi Di Indonesia, www.ekonomirakyat.org

Widodo, Slamet, Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktur Fungsional dan Psikologi Sosial, http://learning-of.slametwidodo.com


















PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DALAM PERSPEKTIF TALCOT PARSONS





MAKALAH
 Diajukan sebagai Bahan Diskusi pada:
Mata Kuliah    :  Sosiologi Pendidikan
Dosen              :  Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.A
  



















Oleh
SITI HAYATI
NIM. 5051030056







PROGRAM STUDI  :  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2011




[1]  Abdullah Ali, Sosiologi Pendidikcrn dan Dakwah, Cirebon ; STAIN Press Cirebon bekerjasama dengan Penerbit Cakrawala Yogyakarta, 2007, hal. 36.
[2]  Lihat. www.bookrags.com Talcott Parsonss from Encyclopedia of World Biography. ©200_5-2006 Thomson Gale, a part of the Thomson Corporation.
[3]  Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biografi para Peletak Sosiologi kfoderrr, Jogjakarta ; Ar-Ruzz Media, 2008, hal. 107 -108
[4]  Sediono MP Tjondronegoro, 1'erlrrrrya Reorientasi Sosiologi Di Indonesia, wwv.ekonomirakyat.org

[5] ________________, Sosiologi Islam. Bogor. IPB Press. 2005. hal 97
[6]  Widodo, Slamet, Perspektif Teori tentang Perubahan Sosial; Struktur Fungsional dan Psikologi Sosial, http://learning-of.slametwidodo.com
[7]  James H. Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi (terj) Kumanto Sunarto, Bandung: Erlangga, 2007, hal 11
[8]  Lihat Rachmad K Dwi Susilo, hal 111
[9]  Lihat, Abdullah Ali, Sosiologi Pendidikan dan Dakwah, hal 36 - 41